Menenun Benang Intelektual: Studi Agama-Agama dalam Pusaran Dunia Literasi
YOGYAKARTA — Di sebuah rumah penerbitan kecil bernama Alfuwisdom Publishing & Bookstore, Yogyakarta, sekelompok akademisi muda dari Fakultas Ushuluddin Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor berkumpul dalam suasana hangat penuh refleksi. Mereka datang bukan sekadar untuk kunjungan akademik, tetapi untuk memperbincangkan sesuatu yang lebih mendasar: bagaimana tema besar studi agama-agama dapat bergerak dalam pusaran dunia literasi yang kian kompleks.
Diskusi interaktif bertajuk Studi Agama-Agama dalam Pusaran Dunia Literasi, itu menjadi arena perjumpaan dua dunia—dunia akademik dan dunia penerbitan—yang sama-sama berakar dalam tradisi keilmuan Islam. Kegiatan ini menghadirkan dua figur penting: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag., M.Pd., pendiri Alfuwisdom sekaligus alumni Studi Agama-Agama UNIDA Gontor, dan M. Djaya Aji Bima Sakti, S.Ag., M.Ag., dosen Studi Agama-Agama UNIDA Gontor.
Menghidupkan Literasi, Menyambung Benang Ulama
Alvin Qodri membuka forum dengan sapaan khas: “Ahlan wa sahlan di rumah literasi.” Dalam ungkapannya terselip filosofi mendalam: bahwa Alfuwisdom bukan sekadar penerbitan, melainkan rumah bagi ide, gagasan, dan tradisi keilmuan Islam yang terus bersambung dari generasi ke generasi.
“Ini ikhtiar untuk menghidupkan literasi dan menyambung benang,” ujarnya. “Ulama dahulu menyambung benang ilmu melalui dua jalur: tradisi lisan dan tradisi tulisan.”
Didirikan bersama istrinya, Puspita Ayu Lestari, dan seorang sahabat dari Purwokerto Bayu Dwi Cahyono, Alfuwisdom dibangun secara struktural dalam enam bulan, namun telah berakar sejak lima tahun lalu sebagai gerakan kultural. Ia lahir dari kesadaran bahwa literasi bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan ibadah dalam bentuk ilmu yang ditulis dan disebarkan.

Studi Agama dan Kritik terhadap Orientalisme
Dalam sesi narasinya, Alvin mengajak peserta menelusuri akar tradisi Studi Agama-Agama (SAA) yang kini banyak dipengaruhi oleh arus orientalisme Barat. Ia mengingatkan pentingnya kejernihan dalam memahami epistemologi ilmu agama agar tidak terjebak pada paradigma yang menyelewengkan Islam.
Ia menyinggung pemikiran Mu’in Sirry yang mengkritisi proses penulisan Al-Qur’an serta bagaimana perdebatan nya dengan Ustaz Nuruddin, kemudian menyitir bagaimana orientalisme mencoba menutup rapat khazanah literasi turats Islam. “Dalam Islam, kerangka keilmuannya sudah sangat rapi. Salah satunya adalah ilmu Mushthalah Hadis, yang menunjukkan bagaimana disiplin ilmu dikembangkan dengan sanad dan metodologi mumpuni secara dirayah dan riwayah,” ujarnya.
Bagi Alvin, tradisi literasi Islam bukan hanya soal teks, tetapi juga amanah. Ia menyebut Al-Qur’an memiliki gugusan konsep seminal dan bersifat quasi santifik-supra rasional
Ibrahim sebagai Simbol Ketauhidan Agama Samawi
Menariknya, diskusi juga menyentuh tema teologis yang sering menjadi bahan kajian lintas agama: sosok Nabi Ibrahim. Alvin menegaskan bahwa pemahaman yang menyebut Ibrahim melahirkan tiga agama semitik—Yahudi, Kristen, dan Islam—sering kali terdistorsi oleh narasi Barat.
“Ibrahim adalah Muslim. Mengartikan Islam hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah kesalahan epistemologis,” tegasnya. Baginya, Islam adalah al-din yang diturunkan sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW, sebagai kesinambungan wahyu, bukan produk sejarah manusia semata.
Dalam kerangka ini, Studi Agama-Agama harus berpijak pada pandangan hidup Islam (Islamic Worldview), bukan pada relativisme kultural Barat. Tujuannya bukan untuk menyeragamkan, melainkan untuk memurnikan pemahaman tentang agama sebagai jalan menuju tauhid.
Literasi (Studi Agama) sebagai Jalan Barokah Ilmu
Diskusi berkembang menjadi refleksi mendalam tentang barakah literasi—bahwa keberkahan ilmu hanya dapat diperoleh melalui tradisi membaca dan menulis. Alvin menegaskan, “Tidak mungkin bisa menulis tanpa membaca.” Ia mengajak mahasiswa untuk memulai dari hal kecil: membaca satu-dua lembar, lalu menulis ulang, hingga terbentuk kebiasaan intelektual yang berkelanjutan.
Tradisi intelektual Islam, ujarnya, berawal dari membaca (iqra’), lalu menulis dengan tangan, dan kini bertransformasi ke digital. Namun esensinya tetap sama: ilmu adalah amanah yang harus disebarkan dengan adab dan kejujuran ilmiah.
Pemantik: Djaya Aji Bima dan Masa Depan Studi Agama-Agama
Sebagai pemantik, M. Djaya Aji Bima Sakti mengajak mahasiswa untuk memandang Studi Agama-Agama bukan sekadar disiplin akademik, tetapi sebagai cara hidup ilmiah yang berdialog dengan zaman. “Kita tidak sedang mempelajari agama lain untuk membenarkan mereka, tapi untuk menemukan kebijaksanaan yang meneguhkan iman,” ungkapnya.
Ia menyoroti pentingnya pemberdayaan alumni dan jejaring akademik untuk membangun dunia keilmuan yang produktif. Alfuwisdom, menurutnya, menjadi contoh nyata bagaimana ilmu bisa diterjemahkan ke dalam praksis sosial—melalui penerbitan, literasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Agama, Kapitalisme, dan Etika Sosial
Dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan menarik dari peserta terkait tantangan dunia literasi dan maraknya budaya kapitalistik. Alvin menjawab lugas: “Ciri khas kapitalisme adalah mencari uang sebanyak-banyaknya dengan usaha sekecil-kecilnya. Islam menolak itu. Dalam Islam, rezeki datang melalui adab, ikhtiyar serta tawakal, bukan dengan eksploitasi.”
Ia juga menyoroti fenomena sosial seperti judi online (judol) sebagai contoh krisis moral akibat hilangnya peran agama sebagai solusi kehidupan. “Agama harus kembali menjadi panduan etis, bukan sekadar simbol sosial,” ujarnya.

Tentang e-book dan digitalisasi, ia berpendapat bahwa strategi boleh meniru, tetapi semangatnya tetap harus memberdayakan penulis kecil, guru, dan santri. “Target kami adalah penulis kecil yang akan tumbuh dengan Ide besar sebagai imodal utama,” tegasnya, sambil menjelaskan skema pembagian royalti 20% untuk penulis di Alfuwisdom.
Dari Literasi ke Spirit Keilmuan Islam
Diskusi berakhir dengan kesadaran kolektif bahwa dunia literasi adalah arena jihad intelektual. Mahasiswa Studi Agama-Agama diingatkan agar tetap menjaga cara pandang Islam (Worldview Islam) dengan iman, ilmu, dan amal.
“Islam memiliki jalan bagi yang tsawabit, juga ruang bagi yang berkompromi,” ujar Alvin menutup sesi. “Tetapi yang paling penting, jangan kehilangan kejernihan berpikir.”
Bagi para peserta, forum ini bukan sekadar kegiatan akademik, melainkan titik temu intelektualitas—menyusuri jejak ulama yang menulis bukan untuk sekadar kemasyhuran, tetapi untuk menghidupkan peradaban budaya kemajuan.
Penutup: Menghidupkan Jiwa
Pertemuan di Alfuwisdom menjadi bukti bahwa literasi Islam tetap menyala. Ia terus tumbuh di tangan para intelektual muda yang meyakini bahwa menulis adalah ibadah, membaca adalah dzikir, dan berdialog adalah jalan untuk menemukan hikmah.
Di tengah dunia yang makin bising oleh informasi, Para Mahasiswa Studi Agama-Agama dan Alfuwisdom hadir sebagai oase pemikiran—menawarkan kejernihan, adab, dan kesadaran bahwa literasi dalam bentuk penerbit adalah upaya panjang untuk terus merawat umat dengan ilmu, iman dan amal.

(Red.alfuwisdom.com)