Mukadimah Cinta BILFEST
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy | Direktur Alfuwisdom Publishing, alfuwisdom.com
Di Banyumas, membaca bukan budaya yang marak dirayakan. Menulis pun tak serta-merta dijadikan cita-cita. Di daerah yang dikenal dengan lugu dan sederhana ini, toko buku menutup pintu satu per satu. Perpustakaan daerah sepi pengunjung, bahkan ketika digratiskan. Dan yang paling mencemaskan: ruang-ruang bagi anak muda untuk tampil dan menyatakan pikirannya begitu sempit, nyaris tak tersedia.
Banyumas bukan Jakarta yang memiliki ratusan event buku setiap tahun. Bukan Yogyakarta yang punya ekosistem seniman dan pelapak buku jalanan di setiap simpang. Juga bukan Bandung, yang dengan mudah melahirkan komunitas sastra dan buku indie tiap bulan. Banyumas adalah pinggiran dari pinggiran.
Namun, dari ruang sunyi itu, sebuah gagasan besar lahir. Ia datang tidak dari institusi negara atau modal besar, melainkan dari keresahan kolektif sekelompok anak muda. Mereka sadar satu hal penting: bahwa literasi di Banyumas bukan tidak mungkin tumbuh. Ia hanya belum diberi ruang untuk berakar.
Lalu, dengan segala keterbatasan, mereka merancang sebuah langkah bernama Banyumas Iliterasi Festival—disingkat BILFEST.
BILFEST: Menjawab Sunyi dengan Aksi
BILFEST bukan sekadar festival buku atau pameran karya. Ia adalah respons. Sebuah reaksi kultural terhadap ketimpangan akses, terhadap sunyinya diskusi, dan sempitnya ruang ekspresi anak muda di daerah.
“Kami tahu, membuat festival literasi di tempat yang belum ramah terhadap literasi adalah keputusan gila,” ujar salah satu penggagasnya. “Tapi kami lebih takut jika tak ada satu pun yang mencoba.”
Gagasan BILFEST berangkat dari kepercayaan bahwa literasi tidak boleh jadi hak eksklusif kota-kota besar. Anak-anak muda di Banyumas juga berhak membaca buku bagus, berdiskusi soal gagasan, mendengar pertunjukan puisi, atau melihat seni instalasi yang menggugah imajinasi. Mereka pun berhak menulis, mencipta, dan menyuarakan isi kepala tanpa harus selalu “menjadi orang Jakarta”.
BILFEST: Literasi Sebagai Ruang Hidup, Bukan Sekadar Tugas Sekolah
BILFEST dibangun dengan filosofi sederhana namun kuat: literasi harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Bukan hanya soal bisa membaca, tapi juga mampu memahami, mengkritik, mencipta, dan mengekspresikan.
Karenanya, festival ini menghadirkan pendekatan multidimensi terhadap literasi. Ada buku, tentu. Tapi juga ada seni rupa, musik, pertunjukan teater, instalasi interaktif, hingga diskusi yang mempertemukan seniman lokal dan penulis nasional. Semua dibingkai dalam atmosfer yang menyenangkan, penuh ruang bermain dan bergaul.
Pendekatan ini penting karena mayoritas anak muda hari ini bersentuhan dengan budaya populer lebih dulu daripada dengan buku. Maka, BILFEST memutuskan untuk tidak menghakimi selera, tapi justru menggunakan budaya populer sebagai pintu masuk. Komik, zine, bazar kreatif, hingga pertunjukan musik indie dihadirkan untuk membangun jembatan antara generasi muda dan dunia literasi.
BILFEST: Dari Komunitas ke Kolaborasi: Siapa Saja yang Terlibat?
BILFEST bukan kerja satu-dua kepala. Ia adalah orkestrasi dari berbagai elemen: komunitas buku independen, penggiat literasi desa, pelajar SMA, mahasiswa kampus lokal, guru bahasa, penerbit kecil, dan pengelola taman baca. Dalam satu panggung kolaboratif, semua diundang tampil. Semua dianggap setara.
“Kami tidak membeda-bedakan antara ‘penulis terkenal’ dan ‘anak muda yang baru bikin puisi sekali’. Semua bisa berbicara di panggung BILFEST,” kata panitia acara. Prinsip kesetaraan ini bukan gimmick, tapi roh utama. Literasi yang merdeka dimulai dari ruang yang inklusif.
BILFEST juga menggandeng sekolah-sekolah dari berbagai level dan latar belakang. Mereka tidak hanya datang sebagai penonton, tapi juga menjadi pengisi acara, peserta workshop, bahkan kurator mini-pameran.
BILFEST: “1 Anak 1 Buku Cerita”: Dari Festival ke Gerakan
Tak ingin festival hanya jadi seremonial, BILFEST juga meluncurkan program konkret: “1 Anak 1 Buku Cerita”. Tujuannya sederhana: setiap anak di Banyumas memiliki setidaknya satu buku bacaan yang berkualitas.
Buku-buku ini dikumpulkan dari donatur, penerbit, serta hasil kerja sama dengan sekolah dan komunitas. Nantinya akan didistribusikan ke pelosok desa, taman baca, hingga sekolah-sekolah nonformal. Gerakan ini digagas sebagai bentuk distribusi ulang akses literasi: dari pusat ke pinggiran.
Program ini bukan sekadar donasi. Ia adalah deklarasi bahwa literasi adalah hak dasar, bukan hak istimewa. Lewat gerakan ini, BILFEST ingin melibatkan seluruh ekosistem: dari masyarakat sipil, sektor swasta, hingga lembaga pemerintah.
BILFEST: Banyumas (Akan) Membaca
BILFEST barangkali tak semegah Ubud Writers Festival. Ia tak disokong sponsor korporat besar, juga belum diliput stasiun TV nasional. Tapi justru di sanalah kekuatannya.
Ia jujur. Ia lahir dari keresahan nyata dan harapan yang riil. Ia tumbuh dari semangat komunitas, bukan dari proyek kertas kerja. Dan yang paling penting: ia membawa harapan baru bagi wajah literasi di pinggiran.
Banyumas belum sepenuhnya membaca. Tapi lewat BILFEST, sebuah mukaddimah cinta telah ditulis. Tentang bagaimana membaca dan berkarya tak harus menunggu diakui pusat. Bahwa dari pinggiran pun, kita bisa menulis sejarah.
Dan seperti kata mereka di pengujung agenda pra-festival: “Kami percaya, kesetaraan literasi adalah pondasi bagi kemerdekaan berkarya.”
Red. alfuwisdom.com