Ahmad Tohari dan Seruan Literasi dari Banyumas: Tuan di Negeri Sendiri, Bukan Budak di Tanah Sendiri
BANYUMAS – Panggung prestisius di Hetero Space Banyumas menjadi saksi bagi sebuah gema yang seharusnya membelah keheningan negeri: pidato kebudayaan Ahmad Tohari, sastrawan sepuh yang justru tampak semakin tajam ketika menyuarakan kegelisahan tentang literasi bangsa ini.
Dalam rangkaian acara puncak Banyumas International Literacy Festival (BILFest) 2025 yang berlangsung pada 18 Juni, Ahmad Tohari tidak datang membawa nostalgia tentang masa lalu. Ia datang menyampaikan seruan keras: literasi bukan sekadar kegiatan membaca dan menulis, melainkan kunci keberadaban sebuah bangsa.
“Negeri yang maju adalah negeri yang literasinya maju,” tegas Tohari dari atas panggung. Kalimat ini bukan sekadar semboyan kosong. Ia menggugat kenyataan: rendahnya tingkat literasi membuat produksi buku di negeri ini mandek, bahkan menjadi komoditas yang kalah saing dengan gawai.
Kenyataan yang Luruh
Tohari menyentil realitas yang ironis: generasi muda kita semakin asing dengan buku karena merasa “semua sudah ada di HP”. Padahal, di balik ilusi kelimpahan informasi digital, sesungguhnya ada jurang kekosongan nalar yang menganga.
“Orang yang punya literasi tinggi akan memimpin dunia. Bangsa yang literasinya tinggi akan memimpin peradaban dunia,” ucapnya, memberi peringatan. Di era dominasi konten cepat saji, bangsa yang hanya menjadi konsumen literasi tidak akan lebih dari pelayan bagi para produsen wacana global.
Tohari tidak sedang mengajak kita bernostalgia. Ia sedang menyodorkan cermin tajam: kita harus menjadi produsen literasi—bukan budak algoritma asing yang hanya menyukai, membagikan, lalu melupakan.
Dari Pinggiran ke Ibu kota
Berbicara dari Banyumas, tanah kelahirannya, Tohari sekali lagi membuktikan bahwa kebudayaan tidak harus lahir dari ibu kota. Justru dari tepian inilah ia menunjukkan bagaimana desa, nalar lokal, dan suara rakyat bisa menjadi fondasi dari literasi yang jujur dan penuh cinta.
Ia tidak hanya berbicara, tetapi juga menantang: “Mari tingkatkan literasi kita agar kita menjadi tuan di negeri sendiri, bukan budak di negeri sendiri”
Pidato ini bukan sekadar seremoni budaya, tapi seharusnya menjadi tamparan intelektual: ketika algoritma mulai menggantikan akal sehat, literasi adalah satu-satunya penawarnya.
Festival yang arus Menjelma menjadi Obor Tradisi Literasi
BILFest 2025 yang digelar sejak 12 Juni ini bukan hanya bazar buku dan parade diskusi. Ia harus menjadi api yang menghidupkan kembali tradisi menulis di tengah masyarakat yang terlalu sibuk men-scroll hidup orang lain. Ahmad Tohari telah menyalakan obor. Pertanyaannya: siapa yang akan membawa cahaya itu lebih jauh?
Sebab, sebagaimana ia tutup dalam pidatonya, “Bangsa yang tidak menulis akan hilang dari sejarah. Dan bangsa yang tidak membaca, tidak akan pernah menulis sejarahnya sendiri.”
Literasi bukan hiasan kebijakan. Literasi adalah pertaruhan masa depan.