Redaksi Alfuwisdom
Di sebuah lembah yang dilingkupi udara dingin Banjarnegara, di Desa Bedana, Kalibening, sedang disiapkan sebuah perayaan yang tak berpanggang pada gemerlap panggung, melainkan pada bara pengetahuan. Ia dinamai “Lakasana Aksara Bedana”, sebuah gerakan yang menjadikan literasi bukan sekadar kegiatan membaca dan menulis, tetapi napas kehidupan itu sendiri.
Dengan motto: Living Literacy, kegiatan ini berupaya menumbuhkan kesadaran literasi yang hidup—yang berdenyut dalam keseharian para tunas muda Bedana. Literasi yang menumbuhkan bukan hanya kecakapan berpikir, tapi juga kelembutan hati dan ketajaman nurani. Sebab, bagi mereka yang percaya pada kekuatan kata, literasi bukan sekadar kemampuan, melainkan cara merawat peradaban.
Benih yang Disemai Bersama
Inisiatif ini lahir dari tangan-tangan yang percaya pada kekuatan kolaborasi. Dari arah Dompet Dhuafa, hadir Wildan Atqiya, Khoirun Nizar dan Busro Sudono dari Dompet Dhuafa Jawa Tengah, dan para pegiat sosial DDVolunteer yang memahami, bahwa kesejahteraan batin sering bermula dari melek aksara. Mereka bersinergi dengan Alvin Qodri Lazuardy, Direktur Alfuwisdom Publishing, rumah penerbitan yang selama ini mengusung semangat literasi berbasis kebijaksanaan lokal. Tak ketinggalan, tangan-tangan warga desa, dipimpin Ibu Hana Pratiwi, Ketua PKK Desa Bedana, ikut menyiapkan jalannya acara. Mereka adalah wajah-wajah yang menolak diam dalam ketidaktahuan, memilih menanam ilmu di ladang kata.

Kolaborasi antara Dompet Dhuafa Jateng dan Alfuwisdom Publishing ini menumbuhkan sebuah gerakan literasi yang bertunas dalam tiga pilar utama program “Lakasana Aksara Bedana.” Pilar pertama, Jurnalistik Desa Bedana, menjadi ruang belajar tempat warga diajak menulis berita dan kisahnya sendiri—belajar menjadi saksi dan pewarta bagi denyut kehidupan desanya. Pilar kedua, Pustaka Bumi Putera Bedana, tumbuh sebagai cikal bakal perpustakaan yang tak sekadar menampung buku, tetapi juga menyimpan pengetahuan, merawat hikmah, dan menjadi tempat berteduh bagi imajinasi anak-anak yang haus cerita. Dan pilar ketiga, Pemburu Naskah Anak Desa, bergerak menyusuri lorong-lorong kampung untuk menemukan para penulis muda yang mungkin selama ini menulis diam-diam di sela tugas sekolah atau di bawah cahaya lampu semangat literasi menjelang senja. Tiga pilar ini bukan hanya program, melainkan napas dari semangat Living Literacy—bahwa literasi hidup di tengah masyarakat, tumbuh bersama mereka yang berani menulis kisahnya sendiri.
Menuju Puncak: Dari Membaca ke Menghidupi
Seluruh rangkaian kegiatan Lakasana Aksara Bedana akan bergulir dengan format hybrid, menggabungkan kehangatan tatap muka dengan jangkauan luas ruang daring—sebuah cara untuk memastikan semangat literasi tidak terbatasi jarak dan waktu. Puncak perhelatan akan tiba pada 26-27 November 2025, ketika tiga agenda utama digelar bak festival gagasan dan kata. Pertama, Workshop Jurnalistik Desa yang mengasah kepekaan warga dalam menulis berita dan menuturkan kisah, agar setiap peristiwa di tanah Bedana tak luput dari pena mereka sendiri. Kedua, Pelatihan “How To Read A Book”, yang tidak hanya mengajarkan teknik membaca, melainkan mengajak peserta menelusuri makna kehidupan di balik setiap lembar teks. Dan ketiga, Pelatihan Penyusunan Naskah Menjadi Buku, yang membuka jalan bagi para penulis muda agar suaranya tidak berhenti di catatan harian, tetapi menjelma menjadi karya yang hidup dan menginspirasi. Dari ruang belajar hingga layar digital, Bedana bersiap menjadi bukti bahwa literasi bisa tumbuh di mana saja—selama ada niat untuk terus membaca dunia dan menulis masa depan.

Kemudian, pada 27 November 2025, acara akan ditutup dengan pengukuhan bersama Kepala Desa Bedana, menandai bahwa literasi bukan hanya urusan buku, tetapi perihal kesepakatan sosial untuk tumbuh bersama dalam pengetahuan.
Denyut Literasi yang Tak Pernah Padam
Di antara sawah, suara ayam, dan tawa anak-anak, Bedana sedang menulis bab baru dalam sejarahnya. Tak ada kemewahan di sana, hanya semangat untuk menjadikan kata sebagai cahaya yang menuntun jalan. “Lakasana Aksara Bedana” adalah bukti bahwa literasi bisa tumbuh di mana saja—di tengah keterbatasan sekalipun, selama ada cinta yang menghidupkannya.

Sebab, sebagaimana air yang mengalir ke segala arah, literasi pun mestinya hidup—menyapa, menyembuhkan, dan menumbuhkan. Dan dari Bedana, sebuah desa kecil di Banjarnegara, kita belajar: bahwa hidup yang beraksara adalah hidup yang berdaya. (*)